"Pengamanan dengan ketidakjelasan status adalah bentuk perampasan kemerdekaan yang sewenang-wenang," kata Maidina melalui keterangan resmi yang diterima di Jakarta, Kamis (5/8/2021).
Kedua, langkah polisi menjerat Dinar Candy dengan UU Pornografi berpotensi mengakibatkan overkriminalisasi.
Sebab, dalam UU Pornografi yang dilarang itu adalah memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi memuat ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan.
Dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf d UU Pornografi, yang dimaksud dengan 'mengesankan ketelanjangan' adalah suatu kondisi seseorang yang menggunakan penutup tubuh, tetapi masih menampakkan alat kelamin secara eksplisit.
"Definisi ketelanjangan tersebut harus secara eksplisit menunjukkan alat kelamin. Dalam hal ini, tidak ada alat kelamin yang dipertunjukkan oleh DC (Dinar Candy)," ucapnya.
Menurut dia, apabila menggunakan bikini termasuk dalam defenisi ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan, maka hal ini berpotensi mengakibatkan overkriminalisasi.
Sebab, akan berakibat semua unggahan di media sosial yang dilakukan oleh masyarakat dengan tampilan berbikini dapat dijerat dengan UU Pornografi dan UU ITE.
"Kondisi ini sangat berbahaya dan dapat menimbulkan kesewenang-wenangan dan kelebihan beban pemidanaan atau overkriminalisasi," ujarnya.
Selain itu, tindakan yang dilakukan oleh DC harus dilihat sebagai bentuk protes dan dilakukan di tempat umum untuk mendapatkan perhatian publik, bukan untuk menampilkan ketelanjangan atau pornografi.
Atas hal tersebut, ICJR menyerukan kepada kepolisian untuk lebih fokus pada kasus-kasus yang lebih penting, terutama dalam kondisi pandemi di mana masyarakat membutuhkan pengertian dari pemerintah, bukan pemidanaan semata.
ICJR juga menyerukan agar proses hukum terhadap Dinar Candy dihentikan dan tidak dilanjutkan karena berpotensi mengakibatkan overkriminalisasi.