GridHITS.id -Angka positif virus corona di Indonesia kia melambung, Jokowi minta segera diadakan rapid test.
Seperti diketahui jika kini virus corona tengah menjadi wabah dan pandemi yang turut meresahkan masyarakat.
Terlebih, angka pasien yag positif corona kian melambung tinggi pasca virus tersebut masuk ke Indonesia.
Oleh karena itu, Presiden Joko Widodo menginstruksikan pelaksanaan rapid test virus corona untuk mendeteksi Covid-19 secara massal di Indonesia.
Natinya, melaluirapid test diharapkan bisa melakukan deteksi dini atas indikasi awal seseorang menderita Covid-19.
Baca Juga: Sebelumnya Heboh Tubuhnya Dimasuki Corona, Kini Pengobatan Ningsih Tinampi Ditutup, Ada Apa?
Dilansir dari Kompas.com, Ketua Umum Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Klinik dan Kedokteran Laboratorium Indonesia (PDS PatKln), Prof. DR. Dr. Aryati, MS, Sp.PK(K), mengatakan, ada beberapa hal yang harus diperhatikan terkait rapid test.
Ia mengingatkan, perlu ada kewaspadaan dan ketelitian terhadap tes yang dilakukan karena rapid test ada potensi memunculkan hasil negatif palsu atau hasil positif palsu.
Dr Aryati mengatakan, hasil positif palsu atau false positive bisa muncul karena adanya infeksi virus corona jenis lain di masa lalu.
“Karena (jenis) corona banyak di masa lalu itu, antibodi yang pernah timbul bisa saja terdeteksi,” kata Aryati saat dihubungi Kompas.com, Kamis (19/03/2020).
Selain itu, adanya kemungkinan cross reactive atau reaksi silang dengan jenis corona yang lain atau jenis virus yang memiliki kemiripan, bisa menimbulkan adanya false positive.
Ia mencontohkan, hal itu terjadi di Singapura yakni ada dua kasus diduga demam berdarah, ternyata Covid-19.
“Jadi artinya hati-hati,” kata dia.
Baca Juga: WHO Larang Konsumsi Ibuprofen Jika Ada Gejala Virus Corona, Disebut Bisa Memperparah Kondisi Tubuh!
Antibodi timbul karena masuknya antigen ke tubuh seseorang. Oleh karena itu, butuh waktu masa inkubasi atau windows periode.
Aryati mengungkapkan, deteksi antibodi terhadap SARS-CoV2 dengan metode imunokromatografi (rapid test) belum ada penjelasan kinetika antibodinya.
Hal itu karena virus jenis ini masih baru sehingga belum banyak ilmuwan yang menentukan dengan jelas kinetika antibodi virus itu.
“Itulah (masa inkubasi) waktu yang sebetulnya sangat penting di mana biasanya saat virus mulai turun, antibodi meningkat. Jadi bisa terjadi antibodi negatif,” kata Aryati.
“Dikira negatif, tidak sakit. Padahal belum tentu. Bisa saja dia terpapar, tapi belum kelihatan oleh antibodi yang timbul. Sehingga orang yang seharusnya dilakukan pengawasan atau karantina bisa berkeliaran menularkan ke orang lain,” lanjut dia.
Aryati mengatakan, jika hasil tes dengan rapid test hasilnya positif, maka sebaiknya dikonfirmasi kembali dengan tes Polymerase Chain Reaction (PCR).
“Tapi kalau hasil negatif dia belum melewati inkubasinya, saya sarankan untuk dilakukan pengambilan sampel ulang 7 hari kemudian dari hari pertama tadi.
Misal batuk, diperiksa negatif, jangan senang dulu. Cek lagi hari ke-12. Kalau dicek lagi positif, berarti ya positif,” kata Aryati.
Pelaksanaan tes menggunakan rapid test secara massal, lanjut Aryati, bisa dilakukan jika bertujuan melihat paparan virus.
Baca Juga: Uji Coba Berhasil! China Menyatakan Obat Flu Asal Jepang Ini Efektif Mengatasi Virus Corona
“Kalau teman-teman dari bagian epidemiologi ingin melihat ada paparan enggak sih di daerah Jakarta Barat, misalnya. Ya silakan saja karena enggak terkait dengan orang itu untuk diterapi. Tapi kalau untuk dignosis, tentu perlu pertimbangan tadi, kalau negatif diulang. Kalau positif dilanjut dengan PCR,” kata dia.
Aryati mengingatkan tenaga kesehatan harus memahami dengan benar terkait tes yang dilakukan.
Terutama terkait alur tes maupun pengetahuan bahwa hasil positif seharusnya dilanjutkan dengan PCR dan memberikan pengertian kepada keluarga.
Jika tidak, ia khawatir terjadi kepanikan masif seandainya mereka yang dites menunjukkan hasil positif.
“Jika itu tak disikapi dengan baik oleh pemeriksanya, entah dokter atau pengirimnya, itu bisa jadi kehebohan nasional,” kata Aryati.
Juru bicara pemerintah untuk penanganan virus corona Achmad Yurianto mengatakan, metode rapid test untuk memeriksa status tertular virus corona yang sedang dijajaki pemerintah serupa dengan tes massal.
"Rapid test dengan tes massal itu saudara kembar," ujar Yuri saat dikonfirmasi Kompas.com, Rabu (8/3/2020).
Saat disinggung lebih lanjut apakah hal tersebut berarti Indonesia akan menjalankan saran WHO untuk melakukan tes massal Covid-19, Yuri hanya memastikan usulan badan kesehatan dunia itu diterima.
"Usul WHO diterima. Masalah dijalankan atau tidak itu kan nanti dulu. Sebab ada syarat ketentuan berlaku kalau mau menjalankan," lanjut Yuri.
Yuri lalu menjelaskan, rapid test ini merupakan mekanisme yang berbeda dengan tes yang selama ini digunakan oleh pemerintah untuk menentukan status positif Covid-19 pada pasien.
Baca Juga: Aturan Pemerintah Dilarang Jenguk Napi karena Corona, Pablo Benua Malah Bersyukur, Ada Apa?
"Karena rapid test ini menggunakan spesimen darah dan bukan tenggorokan atau kerongkongan. Tetapi menggunakan serum darah yang diambil dari darah (pasien)," ungkap Yuri.
Metode ini, kata dia, punya keunggulan yaknitidak membutuhkan sarana pemeriksaan laboratorium pada bio security level II.
"Artinya tes ini bisa dilaksanakan di hampir seluruh RS di Indonesia," tegasnya.
Namun, tes semacam ini juga masih memiliki kendala tersendiri karenamenggunakan imunoglobin, maka dibutuhkan imunoglobin dari pasien Covid-19 lainnya.
"Maka kita membutuhkan reaksi dari imunoglobulin seseorang yang terinfeksi paling tidak seminggu. Kalau belum terinfeksi atau terinfeksi kurang dari seminggu, kemungkinan bacaan imunoglobulinnya akan negatif," papar Yuri
Lebih lanjut, Yuri juga menjelaskan pemerintah sedang melakukan sejumlah persiapan untuk memberlakukan rapid test.