Jika syarat-syarat di atas tidak diketahui, maka upaya penyembuhan pun menjadi tak terukur. Akan tetapi, pada obat herbal atau obat tradisional, syarat tersebut seringkali tidak diindahkan.
“Misalnya panas, dikasih paracetamol, dosisnya 50 miligram per kilogram berat badan per hari. Efek sampingnya bisa ganggu pencernaan. (Sedangkan) jamu belum jelas bahan aktifnya apa, dosisnya ya kira-kira saja. Karena tidak tahu bahan aktifnya, tidak tahu juga efeknya,” ucap Roslan.
Untuk itu, pemilihan metode penyembuhan penyakit harus dilakukan secara bijak. Tanpa ukuran yang jelas, bukan tak mungkin keganasan penyakit malah meningkat.
Sedangkan menurut dokter pakar obat herbal Arijanto Jonosewojo, jika dibandingkan dengan obat kimia, obat herbal memang cenderung lebih aman karena zat aktif pada obat herbal tidak sebesar pada obat kimia.
"Namun kembali lagi, keamanan obat herbal tergantung pada jenis obatnya dan siapa yang meminumnya. Agak sulit membandingkan keamanannya dengan obat kimia karena obat kimia pun seperti itu," ujarnya dalam konferensi pers Simposium SOHO Global Health Natural Wellness di Jakarta, yang dikutip ulang GridHITS dari Kompas.com.
Ia mencontohkan kelebihan obat herbal dibanding obat kimia, sama seperti obat herbal, obat kimia pun memerlukan syarat karateristik peminumnya.
Misalnya, penyandang diabetes perlu meminum obat metformin. Namun penyandang diabetes yang menderita gangguan ginjal tidak dapat meminumnya.
Terlebih pada penyandang diabetes dengan gangguan ginjal yang diserta penyakit kardiovaskular. Ini karena metformin akan menambah beban ginjal jika diminum, dan berbahaya bagi orang dengan gangguan ginjal.
Demikian pula halnya dengan obat herbal. Meski mengandung bahan-bahan alami tetap saja tidak semua orang bisa meminumnya.
"Maka setiap dokter akan meresepkan obat herbal pun perlu dilihat dulu riwayat penyakit pasien. Perlu adanya individualisasi dalam peresepan obat," tegas Kepala Poliklinik Komplementer Alternatif RSU dr Soetomo ini.