Pesawat terbang di atas kepalanya 24 jam sehari dan satu-satunya cara untuk keluar dari lahannya adalah dengan melalui terowongan bawah tanah.
Dia telah berjuang untuk mempertahankan tanahnya selama lebih dari 20 tahun dan bahkan menolak tawaran lebih dari 1,7 juta dollar AS (Rp 25 miliar) untuk tanahnya.
“Ini adalah tanah yang digarap oleh tiga generasi selama hampir satu abad, oleh kakek saya, ayah saya dan saya sendiri. Saya ingin terus tinggal di sini dan bertani,” kata Shito kepada AFP, beberapa tahun lalu.
Ayah Takao, Toichi, adalah salah satu petani yang dengan gigih menolak rencana pemerintah untuk memperluas Bandara Narita sejak dekade 1970-an.
Sebagian besar petani lain di daerah itu telah diyakinkan untuk menjual tanah mereka dengan uang yang cukup banyak, tetapi Toichi Shito tidak mau mengalah hanya demi uang.
Keyakinannya yang gigih menular ke anaknya, Takao, yang saat itu masih kecil.
Bahkan ketika Toichi meninggal pada usia 84 tahun, Takao berhenti dari pekerjaannya di bisnis restoran dan kembali ke pertanian keluarga untuk melanjutkan perjuangan ayahnya.
Kehidupannya juga tidak mudah. Takao terus-menerus terlibat dalam perselisihan hukum untuk menghentikan pihak berwenang secara paksa mengusirnya dari tanahnya.
Tentu saja itu melelahkan, begitu juga dengan bertani itu sendiri. Tapi dia tidak berniat untuk mundur sejengkal pun.
Perjuangannya telah menjadi simbol hak-hak sipil.