"Di daerah Sunda, kalau kita perhatikan, banyak nama puitis. Ada suku kata yang diulang sehingga puitis," tambahnya.
Sunu juga menyebut contoh lain, yaitu di Jawa, di mana ada orangtua yang memberi nama anaknya dengan nama hari atau pasaran, seperti "Senen", "Rebo", "Kemis", dan "Kliwon".
"Karena pengaruh Islam, ada juga yang menamai anaknya Muhammad. Namun, lidah jawa mengucapkannya menjadi Mokamad. Ada juga Hasyim menjadi Kasim," sambungnya lagi.
Adapun di Bali, nama menunjukkan kasta dan urutan.
Misalnya kasta Sudra, ada urutan nama yaitu Wayan, Putu, Gede, Made, Kadek, Nengah, Nyoman, Komang, dan Ketut yang menunjuk ke urutan anak.
"Di tempat lain, pastilah berlaku tradisi, kebiasaan, atau ketentuan yang berbeda pula," ujarnya.
Menyuarakan doa Seiring perkembangan zaman, Sunu mengamati bahwa aturan, tradisi, dan kebiasaan pun berubah.
"Orang bisa saja terpengaruh oleh budaya populer, lalu memberi nama anaknya dengan nama orang terkenal, entah karena prestasinya atau profesinya," kata Sunu.
"Maka, tak heran kalau di kampung-kampung dijumpai nama Maradona, Ronaldo, dan nama-nama lain," sambungnya.
Menurut dia, dalam konteks tersebut, orangtua memberi nama, selain untuk memberi tanda, juga untuk menyampaikan harapan.