"Di Indonesia ini terjadi berulang pada saat booming ikan louhan, daun anthurium, sampai batu akik (ini) menunjukkan adanya gejala irasionalitas di pasar," jelas dia.
"Misalnya pada saat anturium dihargai setara mobil Innova pada saat itu, ternyata ada permainan antar pedagang tanaman hias atau kartel yang menggoreng harga sehingga bisa ratusan juta rupiah," ungkap dia.
Baca Juga:5 Trik Sederhana dari Baking Soda yang Mampu Atasi Masalah Tanaman
Permainan yang dimaksud Bhima adalah upaya di antara para pedagang untuk sepakat menaikkan harga item tertentu, sehingga muncullah harga baru yang berbeda.
Tidak hanya itu, para pemain di balik harga pasar ini juga menciptakan rumor-rumor tertentu untuk mempermulus upayanya dalam melambungka harga.
"Yang dilakukan adalah proses pembentukan harga di antara sesama pedagang, kemudian diciptakan rumor atau isu agar masyarakat makin tertarik beli. Ada forum-forum kolektor juga, diciptakan imajinasi bahwa yang warna tertentu, bentuk tertentu punya harga lebih," katanya lagi.
Misalnya, saat ini tanaman monstera dengan jenis variegata atau memiliki campuran warna putih dan hijau, dibanderol harga lebih tinggi daripada monstera yang berwarna hijau biasa, karena disebut langka, dan sebagainya.
"Jadi diciptakan pembenaran bahwa harga yang fantastis itu wajar," ujarnya.
Namun, satu hal yang perlu diselidiki menurut Bhima adalah siapa yang bermain di balik semua ini.
Menurutnya, spekulan pasar selalu menciptakan produk untuk dipermainkan.
"Iya memang ada perubahan perilaku juga selama pandemi, masyarakat banyak WFH, sehingga perhatian terhadap interior rumah, termasuk tanaman indoor naik. Jadi ada tren ini, tapi juga digoreng oleh spekulan," pungkas Bhima.