"Kami mengidentifikasi jumlah orang yang lebih tinggi dari yang diperkirakan dengan kondisi neurologis seperti peradangan otak, yang tidak selalu berkorelasi dengan keparahan gejala pernapasan," kata Michael Zandi, dari Queen Square Institute of Neurology dan University College London Hospitals NHS Foundation Trust.
Penelitian, yang diterbitkan dalam jurnal Brain, menunjukkan bahwa tidak ada pasien yang didiagnosis dengan masalah neurologis memiliki COVID-19 dalam cairan serebrospinal mereka.
Hal itu menunjukkan bahwa virus tidak secara langsung menyerang otak mereka.
"Mengingat bahwa penyakit ini baru ada selama beberapa bulan, kita mungkin belum tahu apa yang bisa menyebabkan kerusakan jangka panjang COVID-19," kata Ross Paterson dari Queen Square Institute of Neurology, UCL.
"Dokter perlu mewaspadai kemungkinan efek neurologis, karena diagnosis dini dapat meningkatkan hasil pasien," imbuhnya.
Sementara hasil penelitian menunjukkan bahwa komplikasi otak bisa lebih umum di antara pasien virus daripada yang diperkirakan.
Para ahli mengatakan itu tidak berarti bahwa kasus kerusakan otak tersebar luas.
Covid-19 bisa rusak paru-paru
Melansir dari Kompas.com, Prof David Muljono selaku Deputy Director Eijkman Institute of Molecular Biology memberi perumpamaan paru sebagai spons yang diisi oleh lilin kemudian membeku.
“Itulah yang dilakukan virus corona terhadap paru. Paru diisi oleh cairan yang membeku. Tidak ada lagi rongga atau pori tempat terjadinya pertukaran oksigen,” jelasnya.