Metode ini adalah yang umumnya digunakan untuk memproduksi vaksin Hepatitis B, dan juga merupakan desain yang dipilih oleh perusahaan farmasi dari Amerika Serikat (AS), Novavax - satu dari sepuluh pengembang vaksin Covid-19 yang tercatat telah memasuki tahap pengujian klinis.
“Masing-masing negara pun bisa berbeda, mana (protein) yang bisa menimbulkan stimulan antibodi yang tinggi, karena setiap protein dari virus ini berbeda,” terang Kambang Sariadji, seorang peneliti biomedis di Litbangkes Kementerian Kesehatan.
“Terkadang protein A bisa tingkatkan 90% antibodi, kadang B 70%. Harus diuji (di laboratorium) mana yang lebih kuat antigenitasnya.”
Sama seperti target Menristek, Konsorsium Covid-19 berencana menghasilkan kandidat vaksin yang siap diuji secara klinis paling lambat bulan April 2021.
Pengujian dan produksi massal
Biasanya, sebelum memasuki pengujian pada manusia, kandidat vaksin diuji efektivitas dan juga keamanannya pada sel dan hewan dalam suatu laboratorium dengan tingkatan keamanan Bio-Safety Level (BSL) 3.
Namun, Kambang mengatakan bahwa pada masa darurat pandemi, pengembangan vaksin bisa langsung lompat ke pengujian klinis pada manusia, sebelum pada akhirnya mengajukan izin ke Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan diproduksi masal.
Beberapa pengembang virus termasuk perusahaan bioteknologi AS Moderna, misalnya, melewati tahap uji pada hewan. Mereka memasuki tahap uji klinis hanya kurang dari tiga bulan sejak genom coronavirus pertama di terbitkan di bank data biologis Genbank.
“Tahap pra-klininik ada sebetulnya dilakukan dengan hewan cobaan, tapi nanti (dalam masa pandemi) bisa dipotong. Langsung saja begitu antigen-nya kuat, diuji pada manusia secara klinis,” katanya.
Baca Juga: Kabar Gembira Pasca Lebaran! Vaksin Corona Bernama GX-19 Siap Diuji Klinis Oleh Kalbe Farma
Meskipun demikian, hal ini masih menjadi perdebatan. Beberapa peneliti mengimbau bahwa tingkat keamanan vaksin akan dikorbankan apabila memotong langkah pengujian pra-klinis dan klinis.