GridHITS.id - Menjelang puasa, harga-harga kebutuhan pokok ikut merangkak naik, salah satunya minyak goreng.
Berdasarkan temuanKomisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyatakan harga minyak goreng curah di atas Rp 15.500 per kilogram masih ditemukan di pasaran.
Selain itu, di sejumlah daerah ditemukan juga kalau harga minyak merek Minyakita mencapai Rp 18.000 per liter.
Selain harganya yang naik, KPPU menemukan stok Minyakita sulit ditemukan di pasaran.
Harga temuan di atas jelas di atas rata-rata yang ditetapkan.
Sebagai informasi, dalam pasal 10 Peraturan Menteri Perdagangan nomor 49 tahun 2022 menyebutkan harga eceran tertinggi (HE) minyak goreng rakyat sebesar Rp 14.000 per liter atau Rp 15.500 per kilogram.
Kenaikan harga ini jelas sangat memberatkan sebagian besar ibu rumah tangga di tanah air.
Sayangnya, sebagai konsumen kita tidak bisa berbuat banyak dengan kenaikan harga yang terjadi.
Hal yang dapat dilakukan adalah menyiasati harga minyak goreng yang naik dan langka tersebut.
Berikut beberapa caranya:
Mulai Menumis
Beberapa makanan dapat diolah dengan lezat dengan menumis.Menumis adalah proses memasak dengan sedikit minyak yang tentu dapat menghemat penggunaan minyak setiap harinya.
Mengukus
Ada beberapa makanan yang dapat dikukus.Selain lebih enak, makanan yang dikukus juga lebih sehat dan rendah kolesterol.
Beberapa makanan yang dapat dikukus antara lain seperti pisang, ubi, singkong, talas, dan lainnya.
Pepes
Ayam, ikan, dan daging tidak selalu diolah dengan cara digoreng dengan banyak minyak.Kita dapat membuat pepes ayam dan aneka olahan lainnya dengan bumbu dan rempah yang lezat dan pasti disukai semua keluarga.
Pepes ikan atau ayam lebih sehat dan rendah kolesterol daripada ayam goreng atau ikan goreng.
Ingat, asupan minyak yang banyak dapat menyebabkan berbagai penyakit degeneratif berbahaya seperti jantung, hipertensi, stroke, diabetes, dan lainnya.
Menyoal harga minyak goreng yang tinggi, memang masih diperdebatkan.
Benarkah ada pengaruh dari kartel minyak goreng atau ada sebab lain.
odel bisnis di industri sawit dan minyak goreng berbeda-beda sehingga kecil atau bahkan tidak mungkin bisa terjadi kesepakatan kartel di antara pelaku usaha. Hal tersebut disampaikan ahli di bidang industri sawit, Rio Christiawan saat memberi keterangan dalam sidang perkara dugaan kartel minyak goreng yang diselenggarakan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) secara daring.
“Di industri, model bisnis itu beda-beda. Ada yang bisnisnya hanya di upstream, artinya perkebunan dan pabrik kelapa sawit.
Produknya adalah tandan buah segar yang diolah jadi CPO. Ada yang hanya di downstream atau di hilir, yaitu refinery atau pengolahan CPO menjadi produk turunannya seperti minyak goreng, margarin, sabun, dan lain-lain. Dia tidak punya kebun.
Ada juga yang terintegrasi upstream dan downstream, refinery-nya dipasok oleh perkebunan milik grup sendiri, namun hal ini belum tentu bisa memenuhi seluruh kebutuhan downstream-nya terutama bila lini downstream (refinery) kapasitasnya lebih besar dibandingkan dengan kapasitas lini upstream atau kebunnya” papar Rio yang juga ahli hukum bisnis dan menjadi pengajar di Universitas 17 Agustus 1945.
“Dengan model bisnis yang beda-beda seperti itu, kepentingan antara pelaku usaha juga berbeda sehingga sangat kecil atau bahkan tidak mungkin bisa terjadi kartel. Tujuan kartel itu kan kepentingan bersama, sedangkan ini kepentingannya beda-beda,” sambung Rio.
Dalam perkara ini, KPPU menduga sebanyak 27 perusahaan minyak goreng kemasan (Terlapor) melakukan pelanggaran Pasal 5 dan Pasal 19 huruf c Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Antimonopoli). Para Terlapor dituduh membuat kesepakatan penetapan harga minyak goreng kemasan pada periode Oktober - Desember 2021 dan periode Maret – Mei 2022, dan membatasi peredaran atau penjualan minyak goreng kemasan pada periode Januari – Mei 2022.
Menurut Rio, kenaikan harga minyak goreng yang terjadi pada 2021-2022 bukan atas kesepakatan antara pelaku usaha, tetapi merupakan respons bersama yang rasional menyikapi kenaikan harga CPO sebagai bahan baku utama minyak goreng.
Hal ini juga dapat dilihat pada produk turunan CPO selain minyak goreng yang juga mengalami kenaikan harga akibat dampak dari kenaikan harga CPO, seperti mentega. Misalnya mentega putih dari harga Rp19.000 di tahun 2020, naik menjadi Rp24.000 di tahun 2021. Begitu pula untuk mentega ekspor naik dari harga Rp20.000 di tahun 2020 menjadi Rp36.000 di tahun 2021.
“Perumpamaannya, di tempat olahraga orang pasti akan ramai-ramai berjualan air minum dan di pemakaman orang banyak berjualan kembang untuk ziarah. Itu adalah pilihan bersama yang rasional, bukan berarti mereka bersepakat,” jelas Rio.
Terkait dengan kelangkaan minyak goreng yang terjadi tahun lalu, Rio menyebut kebijakan pemerintah yang menjadi pemicunya. Peraturan mengenai harga eceran tertinggi (HET) yanag diikuti dengan domestic market obligation (DMO)/domestic price obligation (DPO) justru tidak tepat dan menimbulkann kelangkaan. Apalagi, kebijakan yang dikeluarkan berubah-ubah dalam waktu yang singkat.
“Saya mencatat dalam dua bulan ada empat kebijakan yang diambil. Jadi, jika dirata-rata tiap dua minggu ada peraturan baru. Pertama, soal subsidi menggunakan dana BPDPKS. Kemudian, soal penggantian selisih harga ke produsen atau rafaksi yang proses reimbursement-nya sampai sekarang belum jelas dan menimbulkan dispute. Selanjutnya, muncul kebijakan HET untuk tiga jenis minyak goreng. Belakangan, kebijakan ini dikoreksi dan hanya minyak curah yang diatur harganya,” beber Rio.
Dalam konsep “economic analysis of law”, sambung Rio, kebijakan pemerintah sangat penting karena menjadi basis untuk membuat pilihan-pilihan bisnis yang rasional dan legal bagi pelaku usaha. “Kalau tiap minggu ganti kebijakan, kapan melakukan analisanya,” lontarnya.
Lebih lanjut Rio menjelaskan, kebijakan HET tidak tepat karena tidak menggunakan harga acuan CPO di pasar domestik maupun internasional. HET yang ditetapkan pemerintah jauh di bawah harga acuan. Sementara, pasokan bahan baku untuk minyak goreng semakin sulit selain karena produksi yang turun akibat pandemi, juga karena meningkatnya pasokan CPO untuk biodiesel.
Baca Juga: Kabar Gembira Buat Emak-emak! 14 Hari Lagi Harga Minyak Goreng Jadi Rp14 Ribu Per Liter
“Kebijakan HET telah memberikan dampak yang berbeda kepada pelaku usaha sehingga mereka juga harus mengambil pilihan-pilihan rasional yang berbeda.
Bagi pelaku usaha downstream dan tidak punya kebun, atau usaha upstream-downstream tapi pasokan kebunnya tidak mencukupi, mereka terpaksa membeli CPO dari pihak ketiga dengan harga tinggi. Namun, bagi pelaku usaha upstream atau perusahaan terintegrasi yang pasokan kebunnya berlebih, dia akan memilih ekspor atau menjual CPO-nya untuk kebutuhan biodiesel karena harganya lebih tinggi dibandingkan harga jual CPO untuk minyak goreng.
Jadi, ketika dihadapkan kebijakan minyak goreng dan biodiesel, secara rasional pelaku usaha akan lebih memilih memasok CPO untuk biodiesel,” tandas Rio