Misalnya, karena biasanya tidak dilihat sebagai pengasuh oleh masyarakat, para ayah mungkin tidak diberikan cuti ayah yang layak, menghadapi tekanan eksternal atau merasa ragu untuk mengambil cuti untuk merawat anak.
Sementara Pegawai Negeri Sipil laki-laki di Indonesia bisa mendapatkan cuti hingga maksimal satu bulan untuk mendampingi istri melahirkan yang diberikan dengan syarat, sebagian besar hanya mengambil cuti sekitar satu minggu karena kekhawatiran meninggalkan pekerjaan dan kehilangan penghasilan tambahan untuk keluarga.
Hal ini memiliki banyak implikasi – laki-laki tidak dapat menikmati peran sebagai ayah, dan pasangan perempuannya harus mengimbanginya dengan bertanggung jawab lebih besar dalam mengasuh anak.
Selain menghadapi bias dari pihak luar, perempuan dapat berpikir perasaan tidak mampu ini adalah hal wajar, yang mengarah pada keraguan diri serta keyakinan yang membatasi mereka. Mereka mungkin berkecil hati untuk mengejar cita-cita profesional mereka, dan bahkan menyebabkan karir mereka menurun.
11% perempuan yang disurvei di wilayah Asia Pasifik ini mengatakan mereka akan menolak peluang kepemimpinan yang menantang, sementara hanya 2% responden laki-laki yang akan melakukan hal yang sama.
Studi ini juga menemukan bahwa perempuan lebih cenderung memiliki pemikiran yang membatasi diri dan berurusan dengan masalah seperti perfeksionisme, mengkritik diri sendiri dan imposter syndrome (kondisi psikologis ketika seseorang merasa tidak pantas meraih kesuksesan yang dicapainya).
Karena perilaku ini terasa sangat wajar sehingga yang mengalami sering tidak merasakannya, dan kita mungkin tidak menyadari bahwa kita sedang melestarikan bias ini.
Baca Juga:Lihat Teknologi dan Inovasi 3M untuk Membantu Melindungi dan Merawat Kulit Si Kecil
Pertanyaannya kemudian menjadi – bagaimana kita dapat mengidentifikasi dan secara efektif menangani sesuatu yang alamiah ini?
Pertama, perusahaan harus memberikan pelatihan bias yang tidak disadari di semua level organisasi.
Untuk memastikan pelatihan ini benar-benar efektif, yang mendorong karyawan untuk merefleksikan dan mengenali bias mereka sendiri, dan menetapkan tujuan untuk memperbaiki keyakinan ini.
Alih-alih hanya satu kali sesi, sesi pelatihan lanjutan juga sangat membantu dalam memperkuat budaya inklusif.