Prof David Muljono selaku Deputy Director Eijkman Institute of Molecular Biology menyebutkan convalescent plasma sangat mungkin dilakukan termasuk di Indonesia.
“Plasma diambil dari darah pasien yang sembuh, tetapi ada kriterianya,” tutur David saat webinar yang digelar oleh The Conversation Indonesia bertajuk “Mengukur Efektivitas Intervensi Pemerintah dalam Penanganan Covid-19”, Selasa (21/4/2020).
Kriteria yang harus dimiliki eks-pasien Covid-19 antara lain usia 18-55 tahun, berat badan lebih dari 50 kilogram, tidak memiliki penyakit penyerta, serta mampu mendonorkan darahnya.
“RNA pasien harus pernah positif, dengan indikasi pasien tersebut harus yang memiliki progress (penyembuhan) yang cepat dan penyakitnya tidak lebih dari tiga minggu,” paparnya.
Terapi convalescent plasma bukanlah kali pertama dilakukan untuk beberapa jenis penyakit.
David menjelaskan, sebelumnya terapi ini dilakukan untuk mengobati penyakit SARS, MERS, hantavirus, dan flu burung.
Lihat Foto Plasma(shutterstock) Untuk kasus Covid-19, convalescent plasma pertama kali dipraktekkan di China.
“Awalnya ada 5 orang diberi terapi itu di China, kemudian ditambah 10 orang lagi. Kemudian ada 2 orang lagi di China. Itu artinya di dunia sampai saat ini baru ada 17 orang yang diberikan terapi tersebut,” tambah David.
Berdasarkan data terbatas itu, tingkat keberhasilan convalescent plasma memang cukup tinggi.
Para pasien di China yang telah diberikan convalescent plasma mengalami penyembuhan yang lebih cepat, serta keparahan yang berkurang terutama pada saluran pernapasan.
Lalu apakah terapi ini benar efektif untuk menyembuhkan Covid-19? David mengatakan terlalu dini untuk berkesimpulan seperti itu.
Itulah mengapa Infectious Diseases Society of America (IDSA) telah mengeluarkan rekomendasi no 7.