Menurutnya, kenormalan harga tidak hanya terjadi pada produk masker, namun produk-produk lain di mana permintaan dan adanya pasokan melimpah yang membuat harga turun.
Selain itu, Enny mengungkapkan bahwa terjadinya kelangkaan masker yang sempat terjadi di Indonesia, dikarenakan tidak adanya "pengatur" saat kegiatan ekspor dilakukan.
"Coba kalau kita di awal ada yang mengatur, ada yang mengantisipasi kita ekspor maskernya, tidak ugal-ugalan begitu, tidak terjadi kekurangan stok pasokan," ujar Enny.
Selain itu, penurunan harga masker juga disebabkan oleh masyarakat saat ini telah menemukan alternatif dari kelangkaan masker bedah, yakni membuat masker kain.
Tak hanya pembuatan masker kain, pembuatan hand sanitizer sendiri dan beberapa sumbangan dari instansi atau lembaga yang memberikan produk secara suka rela di masyarakat yang membuat produk hand sanitizer tidak langka.
"Itu yang membuat pasokan kembali seimbang dan membuat harga normal kembali," lanjut dia.
Enny pun menyampaikan bahwa kenormalan harga masker dan hand sanitizer akan berlangsung lama jika pasokan masih terus bisa diproduksi.
"Selama pasokan ada dan masih bisa diproduksi, masalah harga ya masih seimbang," katanya lagi.
Sementara itu, hal yang perlu diperhatikan oleh pemerintah yakni pihak-pihak yang telah membantu memberikan jalan keluar bagi fenomena kelangkaan alat kesehatan.
Misalnya, di Institut Teknologi Bandung (ITB) yang telah memproduksi alat bantu pernapasan atau ventilator yang mulai langka di Indonesia.
Alat ini mampu membantu gangguan pernapasan, terutama pada paru-paru, akibat terinfeksi virus corona dengan kondisi parah.
Mestinya yang begitu diberi insentif agar pasokan tidak terganggu. Anggaran pemerintah yang Rp 75 triliun itu tidak digunakan untuk impor-impor alkes justru ini kesempatan bahwa anggaran tersebut dapat dioptimalkan kepada public health untuk menggerakan ekonomi," kata Enny.