Serangan Virus Corona Belum Usai, Muncul Fakta Mengejutkan Soal Covid-19 yang Disebut Bisa Merusak Otak dan Saraf, Ini Kata Ahli

Kamis, 16 Juli 2020 | 18:35
Freepik.com

Fakta baru soal virus corona yang disebut bisa menyerang otak manusia

Serangan Virus Corona Belum Usai, Muncul Fakta Mengejutkan Soal Covid-19 yang Disebut Bisa Merusak Otak dan Saraf, Ini Kata Ahli

GridHITS.id -Hingga saat ini serangan virus corona di dunia tak kunjung usai.

Bahkan, muncul fakta baru yang mencengangkan, loh. Disebut Covid-19 bisa merusak organ otak manusia, meski infeksi yang ringan sekalipun.

Melansir dariThe Economic Times(8/7/2020), berikut penjelasan ahli soal Covid-19 yang bisa merusak otak.

Baca Juga: Firasatnya Jarang Meleset Bahkan Sempat Kejutkan Tri Rismaharini, Wirang Birawa Singgung Perihal Vaksin Penangkal Virus Corona

Baca Juga: Jadi Bukti Pandemi Masih Panjang, Ahli Epidemiologi Beberkan Fakta Virus Corona Akan Bertahan di Indonesia Sampai 5 tahun ke Depan

Tim dokter yang berbasis di Inggris pernah memperingatkan bahwa komplikasi COVID-19 bisa berpotensi fatal di otak termasuk delirium (gangguan mental serius), kerusakan saraf, dan stroke mungkin lebih umum daripada yang diperkirakan sebelumnya.

Infeksi COVID-19 yang parah diketahui menempatkan pasien pada risiko komplikasi neurologis, penelitian yang dipimpin oleh University Colle.

Tim melihat gejala neurologis dari 43 pasien yang dirawat di rumah sakit dengan COVID-19 yang dikonfirmasi atau dicurigai.

Mereka menemukan 10 kasus disfungsi otak sementara, 12 kasus peradangan otak, delapan stroke dan delapan kasus kerusakan saraf.

Sebagian besar pasien dengan peradangan didiagnosis dengan ensefalomielitis diseminata akut (ADEM) - suatu kondisi langka yang biasanya terlihat pada anak-anak setelah infeksi virus.

"Kami mengidentifikasi jumlah orang yang lebih tinggi dari yang diperkirakan dengan kondisi neurologis seperti peradangan otak, yang tidak selalu berkorelasi dengan keparahan gejala pernapasan," kata Michael Zandi, dari Queen Square Institute of Neurology dan University College London Hospitals NHS Foundation Trust.

Penelitian, yang diterbitkan dalam jurnal Brain, menunjukkan bahwa tidak ada pasien yang didiagnosis dengan masalah neurologis memiliki COVID-19 dalam cairan serebrospinal mereka.

Hal itu menunjukkan bahwa virus tidak secara langsung menyerang otak mereka.

Baca Juga: Bukan Kabar Gembira Terkait Virus Corona, Muncul Lagi Fakta Baru Rekor Kasus Covid-19 di Tanah Air yang Jumlahnya Sudah Dekati China

Baca Juga: Gedung Bioskop Dibuka Saat WHO Akui Virus Corona Menyebar Melalui Udara, Pakar Epidemiologi: Ditunda Dulu Saja

"Mengingat bahwa penyakit ini baru ada selama beberapa bulan, kita mungkin belum tahu apa yang bisa menyebabkan kerusakan jangka panjang COVID-19," kata Ross Paterson dari Queen Square Institute of Neurology, UCL.

"Dokter perlu mewaspadai kemungkinan efek neurologis, karena diagnosis dini dapat meningkatkan hasil pasien," imbuhnya.

Sementara hasil penelitian menunjukkan bahwa komplikasi otak bisa lebih umum di antara pasien virus daripada yang diperkirakan.

Para ahli mengatakan itu tidak berarti bahwa kasus kerusakan otak tersebar luas.

Covid-19 bisa rusak paru-paru

Melansir dari Kompas.com, Prof David Muljono selaku Deputy Director Eijkman Institute of Molecular Biology memberi perumpamaan paru sebagai spons yang diisi oleh lilin kemudian membeku.

“Itulah yang dilakukan virus corona terhadap paru. Paru diisi oleh cairan yang membeku. Tidak ada lagi rongga atau pori tempat terjadinya pertukaran oksigen,” jelasnya.

Baca Juga: WHO Sudah Mengakui Kebenarannya, Begini Akhir Perdebatan Penularan Virus Corona Melalui Udara

Baca Juga: Ikut Merasakan Kejamnya Virus Corona, Tyson Suami Melaney Ricardo Mendadak Menangis Sesegukan Karena Hal Ini, 'Rindu Sekali'

Bagian paru yang mengalami kerusakan pertama kali adalah area pinggir.

Selanjutnya, infeksi melebar ke bagian tengah paru dan lama-kelamaan paru menjadi padat.

Beberapa penelitian menunjukkan pasien yang pernah terinfeksi Covid-19 mengalami kerusakan paru permanen.

Editor : Riska Yulyana Damayanti

Sumber : The Economic Times

Baca Lainnya