GridHITS.id - Setelah tiga tahun pandemik COVID-19 berlangsung, masalah COVID-19 belum sepenuhnya selesai, karena masih ada kelompok masyarakat yang membutuhkan perlindungan tambahan yaitu kelompok rentan yang berisiko lebih tinggi terkena COVID-19 parah.
Kelompok rentan adalah mereka yang memiliki sistem imun yang lemah sehingga mereka memiliki risiko infeksi yang lebih tinggi dibanding populasi sehat.
Gangguan pada sistem imun dapat menyebabkan peningkatan beban penyakit dari COVID19 pada kelompok ini.
Juga terdapat perbedaan respon vaksinasi kelompok rentan dan populasi sehat atau imunokompeten.
Pada populasi sehat efektivitas vaksin COVID-19 terhadap kejadian rawat inap terlihat lebih baik dan stabil dari waktu ke waktu.
Sementara pada populasi kelompok rentan, secara umum terlihat efektifivitasnya lebih rendah dibandingkan populasi sehat.
Di atas bulan ke-7 setelah vaksinasi, efektivitas vaksin pada populasi ini ditemukan kurang dari 70%.
Bahkan setelah diberikan vaksin dosis ke-3, efektivitasnya tidak bisa menyamai populasi sehat.
Sehingga, mereka 3x lebih berisiko dirawat inap dan berisiko membutuhkan perawatan yang lebih intensif di ICU.
Selain itu, kemungkinan kematian pada populasi ini juga jauh lebih tinggi, yaitu sebesar 2x lipat.
Kelompok rentan ini memiliki risiko untuk terus menerus terinfeksi oleh virus COVID-19 dalam waktu yang lama.
Baca Juga: Bisa Tingkatkan Imunitas, Manfaat Air Jahe untuk Kesehatan
Replikasi virus yang terus menerus dan berkelanjutan ini dapat menyebabkan terjadi mutasi pada virus COVID-19 tersebut.
Prof. Dr. dr. Iris Rengganis, SpPD, K-AI, FINASIM. Ketua Pengurus Pusat Perhimpunan Alergi Imunologi Indonesia (PERALMUNI), mengatakan:
“Sistem prokes dan vaksinasi booster adalah 2 garda utama yang dapat melindungi individu dari infeksi COVID-19.
Namun untuk kelompok rentan dikarenakan kondisi mereka, mereka memerlukan modalitas atau opsi lain seperti terapi imunisasi pasif dengan antibodi monoklonal.”
Berdasarkan definisi dari CDC, kelompok rentan merupakan mereka yang mengalami kondisi salah satunya yakni pasien kanker yang menerima pengobatan kanker secara aktif baik untuk tumor padat maupun kanker darah.
Pasien yang menerima transplantasi organ dan mengkonsumsi obat immunosupresan yang dapat menekan sistem kekebalan tubuh.
Mereka dengan kondisi imunodefisiensi primer sedang atau berat, pasien HIV kondisi lanjut yang tidak terkontrol/tidak diobat.
Juga mereka dengan pengobatan aktif kortikosteroid dosis tinggi atau obat-obat lain yang dapat menekan respon imun.
Berdasarkan data GISAID, Virus SARS-Cov-2 Omicron BA.5 sejauh ini merupakan jenis varian yang mendominasi di Indonesia.
Hal ini memperlihatkan bahwa, kasus aktif COVID-19 masih ada, dan perlunya untuk masyarakat tetap berhati-hati, tetap waspada, khususnya pada kelompok rentan.
Siaran Pers Untuk terlindungi dari COVID-19, selain menggunakan vaksin yang secara aktif dapat merangsang sistem imun untuk pembentukan antibodi.
Baca Juga: Bagaimana Virus Bereproduksi dan Apakah Corona Bisa Melakukannya Juga?
Pada populasi tertentu, terdapat terapi imunisasi pasif seperti antibodi monoklonal yang mungkin dapat menjadi salah satu opsi bagi Kelompok tersebut untuk mendapatkan proteksi khusus terhadap COVID-19.
Antibodi Monoklonal (mAbs) merupakan suatu protein yang dibuat di Laboratorium yang bertindak seperti antibodi manusia pada umumnya dalam sistem kekebalan tubuh.
Antibodi Monoklonal (mAbs) Anti-SARS-COV-2 yang menargetkan Spike Protein Virus COVID-19 menunjukkan manfaat klinis sebagai pencegahan (Pre-exposure Prohylaxis/PrEP) untuk Infeksi SARS-CoV-2.
Antibodi Monoklonal mengikat S protein dari Virus COVID-19, sehingga mencegah virus untuk masuk ke dalam sel tubuh lainnya.
Baca Juga: Heboh Muncul Ramuan 131 yang Mampu Basmi Corona, Ternyata ini Fakta Sebenarnya