Beberapa bulan terakhir ini, warga Lampung misalnya, mengeluhkan pusing dan lemas. Mereka menuduh sarang burung walet yang terletak beberapa meter dari rumahnya sebagai penyebab.
Namun hingga kini, tempat sarang burung walet ini masih tetap berdiri karena belum adanya penelitian secara mendetail tentang burung walet. Menurut Nurjito, hal yang sama terjadi di beberapa daerah.
Diakui Nurjito, tak banyak orang yang tahu tentang penyakit yang disebabkan burung walet. Karena nilai ekonomisnya besar, tak banyak yang peduli penyakit yang ditimbulkan.
Padahal seharusnya, keuntungan dari sarang burung walet tersebut menjadi keuntungan pula untuk penduduk sekitarnya.
Walaupun diakuinya, hingga kini belum ada regulasi yang jelas tentang burung walet.
Menurut Nurjito, idealnya, pengembangan sarang burung walet dilakukan di dataran rendah dengan ketinggian maksimum 1.000 m dpl.
Daerah itu pun harus jauh dari jangkauan pengaruh kemajuan teknologi dan perkembangan masyarakat.
Untuk menjaga keamanan burung walet, sarangnya harus berada di daerah yang jauh dari gangguan burung-burung buas pemakan daging. Idealnya, pengembangan burung walet dilakukan di persawahan, padang rumput, hutan-hutan terbuka, pantai, danau, sungai, dan rawa-rawa.
Namun dalam implementasinya di lapangan, banyak peternak burung walet yang membuat sarang walet di tengah masyarakat.
Bahkan, menurut Nurjito, dia menemukan satu keluarga yang hidup dengan walet.
Rumahnya terdiri dari tiga lantai. Satu lantai paling bawah digunakan untuk kediaman keluarganya, dan dua lantai di atasnya digunakan untuk ternak burung walet, ungkapnya.