GridHITS.id -Terlepas dari adanya peningkatan fokus perusahaan pada keragaman, kesetaraan dan inklusi, namun kondisi kepemimpinan perempuan saat ini dirasa masih kurang, di mana kepemimpinan perempuan terhadap laki-laki di Kawasan Asia Pasifik pada tahun 2021 masih di bawah 28%.
Mungkin sudah waktunya bagi kita untuk menggali lebih dalam serta mengatasi halangan yang tersembunyi maupun kesulitan untuk dapat diatasi, di mana telah menjadi bias yang tidak disadari.
Sudah menjadi sifat alami manusia untuk tertarik pada orang-orang yang sama dengan diri kita.
Namun terkadang, naluri ini, yang dikenal sebagai bias afinitas, bisa berbahaya.
Misalnya, ketika seorang pengambil keputusan laki-laki menganggap mereka lebih cocok dengan kandidat laki-laki yang berasal dari latar belakang yang sama, sehingga memilih mereka daripada kandidat perempuan yang memiliki kualifikasi sama.
Sebuah studi di Asia Pasifik yang dilakukan oleh Center for Creative Leadership (CCL), melaporkan bahwa ketika ditanya apakah manajer laki-laki cenderung memilih dan mempromosikan laki-laki daripada perempuan, hasilnya banyak perempuan yang setuju dengan pertanyaan tersebut dibanding laki-laki, dengan perbedaan sebesar 29%.
Bagaimana kita mendefinisikan kepemimpinan juga penting. Sudah sejak lama kita mengaitkan kepemimpinan dengan laki-laki, dan perempuan dengan empati.
Laporan CCL yang sama mengungkapkan bahwa baik perempuan maupun laki-laki sepakat bahwa ambisi sangat penting dalam hal kepemimpinan, namun “banyak perempuan tidak yakin bagaimana menjadi atau tampil ambisius”.
Menurut para peneliti studi ini, hal ini bisa jadi karena perempuan mengaitkan ambisi dengan egoisme, keegoisan, menyombongkan diri atau memanipulasi orang lain untuk kepentingan diri sendiri – tidak seperti laki-laki yang mengaitkannya dengan hal-hal positif.
Baca Juga:Maksimalkan Perlindungan terhadap Covid dengan Menggunakan Respirator 3M N95
Mungkin ini terjadi karena persepsi umum bahwa saat perempuan menampilkan karakteristik kepemimpinan ‘maskulin’ seperti ambisi, dominasi, dan pengambilan risiko, mereka cenderung dipandang secara negatif, sehingga membuat perempuan semakin sulit untuk menjadi pemimpin.
Di sisi lain, laki-laki juga ditekan oleh peran gender konvensional.
Misalnya, karena biasanya tidak dilihat sebagai pengasuh oleh masyarakat, para ayah mungkin tidak diberikan cuti ayah yang layak, menghadapi tekanan eksternal atau merasa ragu untuk mengambil cuti untuk merawat anak.
Sementara Pegawai Negeri Sipil laki-laki di Indonesia bisa mendapatkan cuti hingga maksimal satu bulan untuk mendampingi istri melahirkan yang diberikan dengan syarat, sebagian besar hanya mengambil cuti sekitar satu minggu karena kekhawatiran meninggalkan pekerjaan dan kehilangan penghasilan tambahan untuk keluarga.
Hal ini memiliki banyak implikasi – laki-laki tidak dapat menikmati peran sebagai ayah, dan pasangan perempuannya harus mengimbanginya dengan bertanggung jawab lebih besar dalam mengasuh anak.
Selain menghadapi bias dari pihak luar, perempuan dapat berpikir perasaan tidak mampu ini adalah hal wajar, yang mengarah pada keraguan diri serta keyakinan yang membatasi mereka. Mereka mungkin berkecil hati untuk mengejar cita-cita profesional mereka, dan bahkan menyebabkan karir mereka menurun.
11% perempuan yang disurvei di wilayah Asia Pasifik ini mengatakan mereka akan menolak peluang kepemimpinan yang menantang, sementara hanya 2% responden laki-laki yang akan melakukan hal yang sama.
Studi ini juga menemukan bahwa perempuan lebih cenderung memiliki pemikiran yang membatasi diri dan berurusan dengan masalah seperti perfeksionisme, mengkritik diri sendiri dan imposter syndrome (kondisi psikologis ketika seseorang merasa tidak pantas meraih kesuksesan yang dicapainya).
Karena perilaku ini terasa sangat wajar sehingga yang mengalami sering tidak merasakannya, dan kita mungkin tidak menyadari bahwa kita sedang melestarikan bias ini.
Baca Juga:Lihat Teknologi dan Inovasi 3M untuk Membantu Melindungi dan Merawat Kulit Si Kecil
Pertanyaannya kemudian menjadi – bagaimana kita dapat mengidentifikasi dan secara efektif menangani sesuatu yang alamiah ini?
Pertama, perusahaan harus memberikan pelatihan bias yang tidak disadari di semua level organisasi.
Untuk memastikan pelatihan ini benar-benar efektif, yang mendorong karyawan untuk merefleksikan dan mengenali bias mereka sendiri, dan menetapkan tujuan untuk memperbaiki keyakinan ini.
Alih-alih hanya satu kali sesi, sesi pelatihan lanjutan juga sangat membantu dalam memperkuat budaya inklusif.
Kedua, lawan tren konvensional dan definisikan kembali apa arti kepemimpinan.
Jim Falteisek, Senior Vice President, Asia Corporate Affairs and Managing Director, 3M Korea merekomendasikan pelatihan Growth Mindset yang dapat mendorong karyawan untuk terus tumbuh dan meningkatkan keterampilan mereka.
Di mana pelatihan dimulai dengan tim kepemimpinan di 3M, kemudian kampanye selama beberapa bulan untuk membantu karyawan 3M menumbuhkan kebiasaan belajar baru dalam bidang ini.
Ketiga, menyediakan inisiatif yang mendukung kepemimpinan perempuan.
Women’s Leadership Forum (WLF) 3M mengembangkan pemimpin di semua level untuk mempercepat inklusi dan kemajuan perempuan secara global.
Baca Juga: Survei 3M Menemukan Bahwa Masyarakat Khawatir dengan Keselamatan Jalan
Saat ini 3M memiliki lebih dari 5.000 karyawan di 65 cabang secara global, termasuk semua negara di Asia di mana 3M beroperasi.
Keempat, bantu karyawan laki-laki untuk lebih memahami kesenjangan yang sebenarnya dalam mencapai kesetaraan gender, dan bagaimana mereka dapat menjadi advokat yang lebih baik untuk keragaman, kesetaraan, dan inklusivitas.
“Di 3M, kami berfokus pada REAL Allyship, yang merupakan singkatan dari Reflect, Emphathize, Act dan Learn.
Kami mendorong karyawan kami untuk menggambarkan pengalaman, perspektif, dan asumsi alamiah mereka, bagaimana asumsi ini memengaruhi orang lain, dan bagaimana asumsi tersebut muncul” ungkap Jim Falteisek, Senior Vice President, Asia Corporate Affairs and Managing Director, 3M Korea.
Empati juga merupakan kunci utama untuk memajukan kesetaraan.
Oleh karena itu, 3M mendorong karyawan laki-laki untuk belajar dan memahami tantangan bagi perempuan di tempat kerja dengan cara mendengarkan, membaca, dan berpartisipasi dalam dialog dengan perempuan. Dari pembelajaran tersebut, karyawan kemudian dapat mengambil tindakan untuk membangun budaya saling memiliki, mengadvokasi mereka yang terpinggirkan, dan meneruskan proses pembelajaran mereka.
“Kami akui bahwa aliansi muncul dalam berbagai bentuk dan memungkinkan kami untuk melakukan advokasi dengan cara yang terasa paling otentik untuk setiap individu.
Melalui program aliansi laki-laki 3M, Men as Advocates, kami mengajak semua orang untuk menantang stereotip gender dan bekerja menuju pola pikir dan perilaku netral gender.
Saya pribadi merasa penting bagi laki-laki untuk lebih memahami kebutuhan menjadi advokat untuk membuat langkah maju yang positif dalam kesetaraan,” tambah Jim.
Baca Juga: Dukung Perempuan Indonesia Siapkan Generasi Maju, Danone Indonesia Siapkan Program ini
Terakhir, rancang ulang proses akuisisi talenta untuk lebih melibatkan kandidat dari kelompok yang kurang terwakili.
Dimulai dengan Amerika Serikat, 3M merancang ulang proses wawancara untuk menghilangkan diskriminasi dan bias individu, dan berinvestasi dalam sistem manajemen wawancara baru yang berfokus pada perekrutan berbasis keterampilan.
Selain itu, 3M juga mensponsori berbagai inisiatif untuk mendorong lebih banyak perempuan dan anak perempuan untuk bergabung dalam bidang sains.
Pada tahun 2021, 3M meluncurkan kompetisi case pertamanya, The 3M Inspire Challenge, di Singapura, Malaysia, Indonesia, Thailand, Vietnam, dan Filipina.
Seluruh tim dari berbagai universitas diajak untuk menunjukkan ide-ide paling cemerlang mereka dalam teknologi, keberlanjutan dan inovasi di mana mereka juga mendapat bimbingan dari mentor sukarelawan 3M dalam bidang sains.
Untuk menumbuhkan generasi pemimpin, pemikir, dan kreator yang beragam dan inklusif, semua tim diharuskan memiliki setidaknya satu siswa laki-laki dan perempuan. Kompetisi ini sukses besar, dengan lebih dari 120 tim yang berpartisipasi, termasuk 11 grup dari Indonesia.
Ketidaksetaraan gender merupakan tantangan yang kompleks dan berlapis. Tujuan keragaman atau inisiatif kepemimpinan perempuan saja seringkali tidak cukup untuk menutup kesenjangan.
Hanya ketika kita mengupas lapisan stereotip gender dan mengatasi bias yang tidak disadari yang menghalangi perempuan, kita dapat memulai perubahan nyata dari dalam ke luar.