Sastrawaan Sapardi Djoko Damono Tutup Usia, Berikut Perjalanan Karir Sang Pujangga yang Meninggal di Usia 80 Tahun
GridHITS.id - Berita duka bagi seluruh masyarakat Indonesia kala sastrawan Sapardi Djoko Darmono tutup usia.
Diberitakan jika Sastrawan Indonesia Sapardi Djoko Damono meninggal dunia pada Minggu (19/7/2020) pukul 09.17 WIB.
Melansir dari Kompas.com, Sapardi Djoko Damonomenghembuskan napas terakhir di Rumah Sakit Eka Hospital BSD, Tangerang Selatan.
Kepala Biro Humas dan Kantor Informasi Publik Universitas Indonesia (UI) Amelita Lusia membenarkan kabar meninggalnya Sapardi Djoko Damono.
"Ya, Mas," kata Amel saat dikonfirmasi.
Namun hiingga saat ini belum diketahui penyebab pasti meninggalnya Sastrawan Sapardi Djoko Damono.
Sebagai informasi, sosok Sastrawan Sapardi Djoko Damono lahir pada 20 Maret 1940 di Surakarta.
Tak hanya dikenal sebagaisastrawan besar Indonesia, Sapardi Djoko Damono juga sekaligus akademisi dari Universitas Indonesia.
Sapardi Djoko Damono pernah menjadi Dekan Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada tahun 1999-2004. B
Beberapa puisinya yang terkenal di masyarakat seperti Hujan Di Bulan Juni, Aku Ingin, Yang Fana Adalah Waktu, dan lainnya.
Mengutip Kemdikbud RI, Sapardi Djoko Damono adalah seorang penyair, dosen, pengamat sastra, kritikus sastra dan pakar sastra.
Setelah lulus SMA, ia kuliah di Jurusan Sastra Inggris Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Pernah memperdalam kajian kemanusiaan (humanities) di University of Hawaii, Amerika Serikat (1970-1971).
Pada 1980, Sapardi Djoko Damono memperoleh gelar doktor dalam ilmu sastra dengan disertasi berjudul Novel Jawa Tahun 1950-an: Telaah Fungsi, Isi, dan Struktur.
Pada 1995, ia dikukuhkan sebagai guru besar di Fakultas Sastra, Universitas Indonesia.
Selain mengajar sebagai dosen di beberapa kampus di Indonesia, Sapardi Djoko Damono aktif dalam berbagai lembaga seni dan sastra pada 1970-1980an.
Antara lain sebagai Direktur Pelaksana Yayasan Indonesia Jakarta (1973-1980), redaksi majalah sastra Horison (1973), Sekretaris Yayasan Dokumentasi Sastra HB Jassin (sejak 1975), anggota Dewan Kesenian, anggota Badan Pertimbangan Perbukuan Balai Pustaka Jakarta (sejak 1987) dan lain-lain.
Pada 1986, Sapardi mengemukakan perlunya mendirikan organisasi profesi kesastraan di Indonesia.
Baca Juga: Indonesia Berduka! Guru Besar UGM Positif Corona Meninggal Dunia Setelah Sepekan Jalani Perawatan
Ia mendirikan organisasi bernama Himpunan Sarjana-Kesusasteraan Indonesia (Hiski) pada 1988 dan terpilih sebagai Ketua Umum Hiski Pusat selama tiga periode.
Selain aktif di dunia sastra dalam negeri, Sapardi Djoko Damono juga sering menghadiri berbagai pertemuan internasional.
Seperti Translation Workshop dan Poetry International di Rotterdam, Belanda (1971), Seminar on Literature and Social Exchange in Asia di Australia National University Canberra, dan lainnya.
Dalam dunia sastra Indonesia, Sapardi Djoko Damono mempunyai peran penting.
Dalam Ikhtisar Kesusasteraan Indonesia Modern (1988) karya Pamusuk Eneste, Sapardi dimasukkan dalam kelompok pengarang Angkatan 1970-an.
Dalam Sastra Indonesia Modern II (1989) karya A Teeuw, Sapardi digambarkan sebagai cendekiawan muda yang mulai menulis sekitar 1960.
Terlihat perkembangan jelas dalam puisi Sapardi terutama dalam hal susunan formal puisi-puisinya.
Ia dianggap sebagai penyair yang orisinil dan kreatif.
Puisi Sapardi Djoko Damono banyak dikagumi karena banyak kesamaan dengan yang ada dalam persajakan Barat yang disebut simbolisme sejak akhir abad ke-19.
Beberapa karya Sapardi Djoko Damono antara lain Duka-Mu Abadi (1969), Mata Pisau (1974), Perahu Kertas (1983), Sihir Hujan (1984), Hujan Bulan Juni (1994), dan Arloji (1998). Serta Ayat-ayat Api (2000), Mata Jendela (2000), Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro (2003), kumpulan cerpen Pengarang Telah Mati (2001), dan kumpulan sajak Kolam (2009).
Buku-buku karya Sapardi Djoko Damono yaitu Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas (1978), Novel Sastra Indonesia Sebelum Perang (1979), Kesusasteraan Indonesia Modern: Beberapa Catatan (1999), Novel Jawa 1950-an: Telaah Fungsi, Isi dan Struktur (1996), Politik, Ideologi dan Sastra Hibrida (1999), Sihir Rendra: Permainan Makna (1999), dan Puisi Indonesia Sebelum Kemerdekaan: Sebuah Catatan (2004). Sapardi juga menerjemahkan beberapa karya sastra asing ke dalam Bahasa Indonesia.
Seperti Lelaki Tua dan Laut (The Old Man and the Sea karya Hemingway), Puisi Cina Klasik, Puisi Klasik, Shakuntala, Amarah I dan II (The Grapes of Wrath karya John Steinbeck), dan lain-lain.
Sapardi Djoko Damono telah menerima berbagai penghargaan dan hadiah sastra dari dalam dan luar negeri.
Pada 1963 Sapardi mendapat Hadiah Majalah Basis atas puisi Ballada Matinya Seorang Pemberontak. Pada 1978 ia menerima Cultural Award dari pemerintah Australia.
Pada 1983, ia memperoleh hadiah Anugerah Puisi-Puisi Putera II atas bukunya Sihir Hujan dari Malaysia. Pada 1984 Dewan Kesenian Jakarta memberi penghargaan atas buku Perahu Kertas.
Mataram Award diterima Sapardi pada 1985. Hadiah SEA Write Award (Hadiah Sastra Asean) dari Thailand diterima pada 1986.
Sapardi meraih Anugerah Seni dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada 1990.
Kalyana Kretya dari Menristek RI diraih pada 1996.
Pada 2003, ia mendapat penghargaan Achmad Bakrie Award for Literature.
Disusul Khatulistiwa Award pada 2004. Penghargaan dari Akademi Jakarta diraih pada 2012.