Biaya Rapid Test Dinilai Lebih Murah, Ahli Justru Minta Lebih Baik Dihentikan, 'Nggak Ada Gunanya'

Jumat, 17 Juli 2020 | 15:41
pixabay.com

ilustrasi biaya rapid test sudah ditetapkan, ahli malah minta untuk berhenti

GridHITS.id -Sejak (13/7/2020), Kementerian Kesehatan melalui Direktur Pelayanan Kesehatan Rujukan Kemenkes resmi mengumumkan batas harga biaya rapid test.

Tentu saja penetapan biaya rapid test berlaku untuk seluruh layanan kesehatan, bagi pasien mandiri.

Mengutip dariKompas.com,Direktur Pelayanan Kesehatan Rujukan Kemenkes yakni Tri Hesty Widyastoeti mengatakan bila biaya tersebut sudah disepakati.

"Besaran biaya Rp150.000 itu untuk pasien mandiri. Intinya bukan yang untuk screening yang bantuan pemerintah,” ujar Hesty sebagaimana dikutip dari siaran pers Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Senin (13/7/2020 mengutip dariKompas.com.

Baca Juga: Beda dengan Pemerintah, Perhimpunan Dokter Ini Tak Sarankan Rapid Test dan PCR Jadi Syarat Perjalanan: Silahkan Dibaca

Biaya tersebut sudah meliputi alat rapid test, alat pelindung diri (APD) untuk petugas medis, hingga biaya jasa layanannya.

Meski demikian, Kemenkes memang belum menetapkan sanksi nyata bagi pelanggar penetapan batas harga tersebut.

Saat biaya rapid test bisa dibilang murah karena sudah ditetapkan, nyatanya AhliEpidemiologi dari Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono meminta pemerintah tidak lagi menggunakan metode pemeriksaan rapid test untuk mendeteksi kasus virus corona ( Covid-19).

Menurutnya, biaya rapid test untukmendeteksi penularan Covid-19 dinilai tidak ada gunanya dan hanya membuang uang negara.

KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Ilustrasi rapid test drive thru. Biaya rapid test sudah ditetapkan

Hal tersebut disampaikan Pandu melaluiKompas.com.

"Testing masal rapid test engggak ada gunanya itu. Buang duit sama buang tenaga," kata Pandu kepada Kompas.com, Jumat (10/7/2020).

Metode rapid test merupakan pemeriksaan cepat untuk mendeteksi kemungkinan adanya virus yang menyerang tubuh manusia.

Baca Juga: Berawal dari Rapid Test, 25 Dokter dan PPDS di Solo Positif Covid-19 Setelah Pesta Wisuda

Pandu mengatakan, rapid test akan sangat berbahaya apabila menunjukan hasil negatif.

"Yang negatif disangkanya sehat padahal bisa aja dia membawa virus. Itu menyebabkan di daerah pakai rapid test akan banyak peningkatan kasusnya," ujar dia.

"Pemerintah bikin surveillance (pengawasan) yang bagus, testing yang banyak pakai PCR, jangan pakai rapid test,"

Menurutnya, rapid test tidak bisa jadi jaminan seseorang tertular Covid-19 atau tidak.

"(Rapid test) enggak ada gunanya, enggak ada gunanya untuk surveillance, enggak ada gunanya untuk deteksi, enggak ada gunanya untuk screening, stop sama sekali," lanjutnya.

Hal ini tentu sangat signifikan dengan adanya pelonjakan kasus dan penambahan pasien positif Covid-19 terus-menerus, sekalipun biaya rapid test sudah ditentukan.

Bahkan, langkah rapid test seolah dijadikan pilihan pemerintah untuk melacak riwayat kontak pasien positif Covid-19 secara masif guna mengetahui seberapa banyak warga yang terpapar Covid-19.

"Jadi, konsepnya testing dengan PCR, contact tracing, sama isolasi bagi mereka yang positif (Covid-19)," ujar Pandu.

Sebelumnya, Pandu menilai penambahan kasus positif Covid-19 di Jakarta tengah berjalan menuju puncak kedua kurva pandemi Covid-19.

Baca Juga: Kabar Gembira, Kini Beli Tiket Pesawat Citilink Gratis Rapid Test, Berikut Syarat dan Ketentuannya

Alasan tingginya penambahan jumlah kasus positif Covid-19 adalah tingkat kedisiplinan warga dalam mematuhi protokol pencegahan Covid-19 masih rendah.

Padahal, kata Pandu, kedisiplinan dalam mematuhi protokol pencegahan Covid-19 seperti memakai masker, saling menjaga jarak, dan rutin mencuci tangan mampu meminimalisasi penyebaran virus corona.

"Jakarta sudah pernah di puncak (kurva), terus turun, landai, tapi belum benar-benar turun benar. Terus naik lagi, jadi sudah puncak kedua. Kan puncaknya bisa dua, tiga juga bisa," kata Pandu.

Editor : Cynthia Paramitha Trisnanda

Sumber : Kompas.com

Baca Lainnya