Penyebab Harmoko Meninggal Diungkap, Profil Tangan Kanan Soeharto yang Dicap Munafik Gegara Hal Ini

Senin, 05 Juli 2021 | 07:52
Instagram

Harmoko yang pernah menjadi Menteri Penerangan adalah salah satu tangan kanan Soeharto. Saat reformasi 1998, Harmoko dicap munafik oleh Soeharto.

Fotokita.net - Penyebab Harmoko meninggal dunia diungkap pihak rumah sakit. Mantan Menteri Penerangan di masa Presiden Soeharto berkuasa ini tutup usiapada Minggu, 4 Juli 2021 pukul 20.22 WIB.

Saat Orde Baru berkuasa, Harmoko dikenal sebagai tangan kanan Soeharto yang setia mendampingi sang pemimpin. Namun, saat reformasi 1998 bergulir, Harmoko dicap munafik. Apa penyebabnya?

Kabar meninggalnyaHarmoko diketahui dari pesan singkat yang diterima para wartawan.

Baca Juga: Dikira Sudah di Surga, Ulama Idola Ustaz Abdul Somad Jadi Saksi Kamar Mewah Pangeran Cendana di LP Cipinang

"Innalillahi wa innailaihi rojiun telah meninggal dunia Bpk. H. Harmoko bin Asmoprawiro pada hari Minggu 4 Juli pada jm 20:22 WIB di RSPAD Gatot Soebroto. Mohon dimaafkan segala kesalahan beliau dan mohon doanya insya Allah beliau husnul khotimah. Aamiin YRA " tulis pesan duka cita yang diterima awak media.

Harmoko lahir di Nganjuk, Jawa Timur pada 7 Februari 1939. Almarhum wafat di usia 82 tahun. Hingga kini, penyebab Harmoko meninggal dunia masih membuat penasaran publik.

Baca Juga: Dituding Antek Soeharto Gegara Foto Ini, Najwa Shihab Ungkap Kondisi Terkini Ayahnya Usai Operasi: Mohon Doanya

Kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, Letjen TNI Albertus Budi Sulistya mengatakan jika Harmoko dinyatakan meninggal dunia usai mendapatkan perawatan darurat beberapa menit di rumah sakit.

Albertus mengatakan jika Harmoko tiba di IGD RSPAD Gatot Soebroto dalam kondisi yang kritis.

“Iya baru tiba, jadi hitungannya menit. Kami langsung bawa ke IGD saat kondisinya dalam penurunan,” ungkap Albertus.

Albertus menambahkan pihak tenaga medis telah melakukan tindakan yang terbaik, namun Tuhan berkehendak lain. Nyawa Harmoko tidak dapat diselamatkan.

Baca Juga: Nyerah Hartanya Rp 1,2 Triliun Dirampas Sri Mulyani, Ternyata Pangeran Cendana Ini Masih Punya Deretan Bisnis yang Tak Bakal Habis 7 Turunan, Berikut Daftarnya

Seperti yang kita ketahui, selama hidupnya Harmoko telah berjasa banyak dalam membangun Indonesia. Dia berjasa dalam memajukan jurnalisme Indonesia.

Namun, saat menjadi Ketua DPR di tahun 1998, Harmoko dengan berani mendesak Presiden Soeharto untuk mundur dari jabatannya. Ia pun ikut melengserkan kekuasaan Soeharto selama 32 tahun.Harmoko adalah martir sejarah Indonesia.

Baca Juga: Terlilit Utang China, Australia Meradang Pengaruhnya Mulai Diambil Alih di Timor Leste, Tapi Enggan Bantu Rakyat Bumi Lorosae

Instagram

Harmoko (kiri) yang pernah menjadi Menteri Penerangan adalah salah satu tangan kanan Soeharto. Saat reformasi 1998, Harmoko dicap munafik oleh Soeharto.

Sebelum menjadi Menteri Penerangan, Harmoko pernah menjadi wartawan dan kartunis di Harian Merdeka dan Majalah Merdeka pada 1960. Pada 1964 Harmoko bekerja di Harian Angkatan Bersenjata dan1965 wartawan Harian API.

Pada 1965 Harmoko menjadi Pemimpin Redaksi Harian Merdiko. Lalu pada 1966-1968 menjabat sebagai Pemimpin dan Penanggung Jawab Harian Mimbar Kita. Kemudian di tahun 1970 mendirikan Harian Pos Kota.

Di tahun 1983 pada masa Presiden Soeharto, Harmoko ditunjuk sebagai Menteri Penerangan. Ia menggantikan Ali Moertopo. Jabatan sebagai Menteri Penerangan ia emban sampai 1997.

Baca Juga: TPNPB OPM Dicap Teroris, Mama Papua: Mereka Berjuang untuk Jaga dari Orang Jahat

Saat menjabat sebagai Menteri Penerangan ia menjadi pencetus ide Kelompencapir (Kelompok Pendengar, Pembaca, dan Pemirsa) yang berfungsi untuk menyampaikan informasi dari pemerintah ke publik.

Pada saat masih menjabat sebagai menteri Harmoko juga merupakan Ketua Partai Golongan Karya (Golkar). Ia menjadi pimpinan partai berlogo pohon beringin itu pada 1993-1998.

Baca Juga: Prajurit TNI Tertembak dalam Kontak Senjata, Lekagak Telenggen: Kalau Mau Perang Lawan Kami

REUTERS via CNN Indonesia

Harmoko (kiri) yang pernah menjadi Menteri Penerangan adalah salah satu tangan kanan Soeharto. Saat reformasi 1998, Harmoko dicap munafik oleh Soeharto.

Selepas menjadi Menteri Penerangan, Harmoko pada 1997 menjabat sebagai ketua DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) ke-12. Sekaligus ketua MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) ke 10. Jabatan itu ia emban pada tahun 1997-1999.

Di mata Soeharto, Harmoko adalah salah satu pembantunya yang telah mengkhianati dirinya saat berada di ujung kekuasaan.

Soeharto mungkin tak bakal melupakan rentetan peristiwa reformasi 98 yang akhirnya ikut menjungkalkannya dari kursi kekuasaan. Pada Mei 1998, dia juga merasa ditinggalkan sebagian lingkaran kepercayaannya selama ini.

Baca Juga: Jarang Tersorot Kamera, Umat Yahudi di Indonesia: Orang Tak Bisa Bedakan Yahudi dan Israel

"Lebih dari itu, ia merasa dikhianati. Ia ditinggalkan oleh teman-teman dan mereka yang ia percaya selama ini. Itu melukai perasaannya," ucap Jusuf Wanandi, dalam buku Menyibak Tabir Orde Baru, Memoar Politik Indonesia 1965-1998.

Pada 15 Mei 1998, dia baru saja kembali dari Kairo, Mesir, untuk acara Konferensi 15 Negara Islam.

Baca Juga: Foto Tampang Sebby Sambom, Jubir OPM yang Ngaku Ketakutan Usai Dirampok Anggota KKB Papua

Instagram

Harmoko (kiri) yang pernah menjadi Menteri Penerangan adalah salah satu tangan kanan Soeharto. Saat reformasi 1998, Harmoko dicap munafik oleh Soeharto.

Beban pikiran Soeharto bertambah dengan penolakan 14 Menteri Kabinet Pembangunan VII untuk masuk Kabinet Reformasi. Di antaranya, Akbar Tandjung dan Ginandjar Kartasasmita yang sebelumnya dianggap sebagai orang loyal. Hal itu membuatnya berpikir bahwa dirinya sudah tak diperlukan dan dicampakkan.

"Para menteri itu munafik. Di antaranya Ketua DPR Harmoko," tulis Jusuf, yang merupakan pentolan tanki pemikir Centre for Strategic and International Studies (CSIS) itu.

Kenapa Harmoko?

Baca Juga: Foto Aksi Gagah Prabowo Subianto Kala Pimpin Kopassus Bebaskan Sandera OPM di Papua

Beberapa bulan sebelumnya, mantan Menteri Penerangan itu mengatakan kepada Soeharto bahwa, berdasarkan hasil Safari Ramadan ke sejumlah daerah, rakyat menganggap tidak ada tokoh lain yang dapat memimpin negara kecuali Soeharto.

Padahal, Soeharto sebelumnya sudah memiliki niat untuk lengser. Tapi gara-gara Harmoko, niatnya urung diwujudkan. Setelah kerusuhan Mei, dia mengatakan sebaliknya.

Pada Kamis, 16 Mei 1998, Harmoko serta pimpinan DPR/MPR lainnya sempat bertemu Soeharto di Cendana. Mereka membicarakan kondisi Indonesia dan desakan rakyat agar Soeharto mundur.

Baca Juga: Ditembak Mati Kopassus, Lekagak Telenggen: Komandan Operasi OPM Diincar Saat Lakukan Pengintaian

Instagram

Harmoko (tengah) yang pernah menjadi Menteri Penerangan adalah salah satu tangan kanan Soeharto. Saat reformasi 1998, Harmoko dicap munafik oleh Soeharto.

Harmoko bahkan sempat menanyakan langsung kepada Soeharto.

"Ya, itu terserah DPR. Kalau pimpinan DPR/MPR menghendaki, ya saya mundur, namun memang tidak ringan mengatasi masalah ini," jawab Soeharto, dalam buku Detik-Detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi yang ditulis BJ Habibie.

Ribuan mahasiswa kemudian berdemo dan menduduki gedung DPR/MPR, Sabtu, 18 Mei 1998. Aksi menduduki gedung dewan itu merupakan puncak dari serangkaian aksi di sejumlah kota besar. Tuntutan utama mereka sama: Soeharto mundur.

"Dalam menanggapi situasi seperti tersebut di atas, pimpinan dewan, baik ketua maupun wakil-wakil ketua mengharapkan demi persatuan dan kesatuan bangsa, agar Presiden secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan diri," kata Harmoko, pada 18 Mei 1998.

Baca Juga: Foto Wimar Witoelar Muda Bikin Pangling, Presenter Talkshow yang Tampil Lebih Santun Ketimbang Najwa Shihab

Ketika itu, ia didampingi pimpinan parlemen lainnya, yaitu Ismail Hasan Metareum, Abdul Gafur, Fatimah Achmad, dan Syarwan Hamid.

Sementara itu, ajudan Soeharto, I Gusti Nyoman Suweden, menyebut hanya mantan Menteri Sekretaris Negara Saadilah Mursyid yang masih sering bertemu Soeharto sejak lengser.

Baca Juga: Innalillahi, Nahdlatul Ulama Kehilangan 7 Ulamanya Cuma dalam 1 Hari, Bukti Corona Makin Ganas

Instagram

Harmoko (kanan) yang pernah menjadi Menteri Penerangan adalah salah satu tangan kanan Soeharto. Saat reformasi 1998, Harmoko dicap munafik oleh Soeharto.

"Sampai beliau lengser dari presiden, sudah tidak ada lagi yang datang kecuali Pak Saadilah Mursyid," kata Suweden dikutip dari CNN Indonesia.

Suweden merupakan sosok yang selalu mendampingi Soeharto hingga ia dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) dan menghembuskan nafas terakhirnya, 27 Januari 2008.

Baca Juga: PPKM Darurat Berlaku 2 Minggu, Karyawan di Sektor Ini Masih Boleh Masuk Kantor, Simak Daftarnya

Suweden mengklaim tak melihat Harmoko datang ke RSPP ketika itu. Sementara, Presiden ketiga RI BJ Habibie, bersama isterinya Ainun Habibie, yang langsung datang dari Jerman, datang ke RSPP namun tak diperkenankan masuk ke dalam kamar.

"Pak Habibie pun datang tapi enggak bolek masuk kamar. Waktu itu cukup di luar. Kan ada ruang tamu, tempat wartawan juga ada. Tapi yang masuk ke kamar rawat tidak ada. Hanya saya dan keluarga, Mbak Tutut, Mbak Titiek, Mas Bambang, Mas Sigit, semuanya lah," ujarnya.

Baca Juga: Foto Bukti Limit Kartu Kredit Pertamina Rp 420 Miliar Bocor, Ahok Buka Suara

Instagram

Harmoko (kiri) yang pernah menjadi Menteri Penerangan adalah salah satu tangan kanan Soeharto. Saat reformasi 1998, Harmoko dicap munafik oleh Soeharto.

(*)

Editor : Bayu Dwi Mardana Kusuma

Baca Lainnya